BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Baja
Daryanto
(2006:22) mengemukakan bahwa baja dapat didefinisikan suatu campuran dari besi
dan karbon, dimana unsur karbon (C) menjadi dasar campurannya. Disamping itu,
mengandung unsur campuran lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si),
dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi.
Kandungan karbon di dalam baja sekitar 0,1-1,7%, sedangkan
unsur lainnya dibatasi presentasenya. Menurut komposisi kimianya baja dapat
dapat dibagi menjadi dua yaitu baja karbon (baja tanpa paduan, plain carbon
steel) dan baja paduan.
2.1.1
Baja Karbon
Suherman (1988:72) menjelaskan
bahwa baja karbon bukan berarti baja yang sama sekali tidak mengandung unsur
lain selain besi dan karbon. Baja karbon masih mengandung sejumlah unsur lain,
tetapi masih dalam batas-batas tertentu yang tidak banyak berpengaruh terhadap
sifatnya. Unsur-unsur ini biasanya merupakan unsur bawaan yang berasal dari
proses pembuatan baja, seperti mangan, silikon dan beberapa unsur pengotor
seperti belerang, phosphor, oksigen, nitrogen, dan lainnya yang biasanya
ditekan sampai kadar yang sangat kecil. Baja dengan kadar mangan kurang dari
0,8%, silikon kurang dari 0,5% dan unsur lain yang sangat sedikit dapat dianggap
sebagai baja karbon.
Menurut Daryanto (2006:33),
baja karbon dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kandungan karbonnya yaitu:
1.
Baja karbon rendah
(Low carbon steel)
Baja ini disebut baja ringan (mild steel), baja karbon rendah bukan baja yang keras, karena
kandungan karbonnya kurang dari 0,3%. Baja ini dapat dijadikan mur, baut,
peralatan senjata, alat pengangkat presisi, batang tarik, perkakas silinder,
dan yang lainnya. Baja ini kekuatannya relatif rendah, lunak tetapi keuletannya
tinggi, mudah dibentuk dan dimachining.
2.
Baja karbon sedang
(Medium carbon steel)
Baja karbon sedang mengandung 0,3-0,6% lebih kuat dan
keras serta kandungan karbonnya memungkinkan baja dikeraskan dengan perlakuan
panas. Penggunaan baja karbon sedang hampir sama dengan baja karbon rendah
yaitu untuk keperluan kekuatan dan ketangguhan yang lebih tinggi seperti baja
konstruksi mesin, untuk poros, roda gigi, rantai dan yag lainnya.
3.
Baja karbon tinggi
(High carbon steel)
Baja karbon tinggi mengandung 0,6-1,5% karbon, sifatnya
lebih keras dan lebih kuat lagi, tetapi ketangguhan dan keuletannya rendah.
Baja ini digunakan terutama untuk perkakas yang memerlukan sifat tahan aus,
misal untuk mata bor, reamer, tap, dan perkakas tangan yang lainnya.
2.1.2
Baja St. 60
Baja St. 60 merupakan baja karbon menengah yang digunakan
sebagai bahan pembuatan poros dan komponen mesin lainnya. Adapun profil baja st
60 menurut Beumer (1985:96) adalah carbon (C) ± 0,2-0,6 %, silikon (Si) ± 0,50
%, mangan (Mn) ± 0,6 %, besi (Fe) ± 98 %, kalsium (Ca) ± 0,20 %, skandium (Sc)
± 0,045 %, khrom (Cr) ± 0,17 %, nikel (Ni) ± 0,048 %, cuprum (Cu) ± 0,25 %,
zing (Zn) ± 0,02 %, lantanum (La) ± 0,02 %, europium ± 0,50 %, renium (Re) ±
0,05 %, osmium (Os) ± 0,11 %, kekuatan tarik ± 62,15 kgf/mm2. Baja ini termasuk
dalam baja tempa campuran yang dapat dikeraskan dan biasanya digunakan dalam
konstruksi mesin.
2.2
Perlakuan Panas (Heat
Treatment)
Perlakuan panas adalah proses untuk memperbaiki sifat logam dengan cara
memanipulasi temperatur dan laju pendinginan pada logam. Secara garis besar
Wahono (2011:4) menyebutkan bahwa prosedur perlakuan panas meliputi (1)
memanaskan logam hingga temperatur tertentu (heating), (2) menahan logam tersebut dalam periode tertentu (holding/soaking time) dan (3)
mendinginkan logam tesebut dengan laju pendinginan (cooling rate) tertentu.
2.2.1
Pengerasan (Hardening)
Suherman (1988:33)
menyatakan bahwa pengerasan adalah salah satu laku panas dengan kondisi non-equilibrium, laku panas yang
pendinginannya berlangsung pada kondisi non-equilibrium,
pendinginan yang sangat cepat, sehingga struktur mikro yang akan diperoleh juga
struktur mikro yang tidak equilibrium.
Kekerasan baja
tergantung pada komposisi kimianya, terutama kadar karbonnya. Semakin tinggi
kadar karbonnya maka semakin keras. Tetapi kekerasan baja masih dapat diubah
lagi dengan merubah struktur mikronya. Kekerasan yang sangat tinggi dapat
diperoleh dengan melakukan proses laku panas untuk memperoleh struktur
martensit.
Hardening
dilakukan dengan memanaskan baja hingga mencapai temperatur austenit,
dipertahankan beberapa saat pada temperatur tersebut, lalu didinginkan dengan
cepat, sehingga akan diperoleh martensit yang keras. Biasanya sesudah proses hardening selesai, segera diikuti proses
tempering. Kekerasan maksimum yang
dapat dicapai setelah proses hardening
banyak tergantung pada kadar karbon, makin tinggi kadar karbon makin tinggi
kekerasan maksimum yang dapat dicapai. Pada baja dengan kadar karbon rendah
kenaikan kekerasan setelah hardening
hampir tidak berarti, karenanya proses pengerasan hanya dilakukan terhadap baja
dengan kadar karbon yang memadai yaitu tidak kurang dari 0,30% C. Makin tinggi
kadar karbon, makin tinggi kekerasan maksimum yang dapat dicapai, juga kenaikan
kekerasan, tetapi sampai batas tertentu (sekitar 0,41% C).
(Sumber: Suherman, 1988:34)
Gambar 2.1 Hubungan
antara kandungan karbon dengan kekerasan baja
Pada kondisi
pemanasan belum tentu semua karbon dalam baja akan larut di dalam austenit,
tergantung juga pada tingginya temperatur pemanasan. Oleh karena itu, kekerasan
yang terjadi setelah proses hardening
banyak tergantung pada beberapa hal yaitu tingginya temperatur austenitising,
homogenity dari austenit, laju pendinginan, kondisi permukaan benda kerja, dan ukuran/berat
benda.
1.
Temperatur austenitising
Temperatur austenitising yang
dianjurkan untuk melakukan hardening
adalah 250-500 0C di atas temperatur kritis A3 untuk baja
hypoeutektoid. Temperatur pemanasan yang hanya di bawah temperatur eutektoid
tidak akan menghasilkan kenaikan kekerasan karena pada pemanasan tersebut tidak
akan terjadi austenit sehingga pada pendinginan nantinya tidak akan terbentuk
martensit.
Pemanasan yang
hanya antara temperatur A1 dan A3 memang sudah menghasilkan austenit tetapi
masih terdapat ferrit yang jika didinginkan kembali, ferrit ini masih tetap
berupa ferrit yang lunak. Jika pemanasan diteruskan pada temperatur yang lebih
tinggi, maka akan diperoleh austenit dengan butiran yang terlalu kasar,
sehingga jika didinginkan kembali akan ada kemungkinan terjadi struktur yang
terlalu getas dan tegangan yang terlalu besar yang dapat menimbulkan distorsi
bahkan juga baja akan retak.
2.
Homogenity austenit
Pada pemanasan equilibrium akan diperoleh struktur yang
mempunyai komposisi yang homogen, karena pada pemanasan yang sangat lambat ini
atom-atom akan berdifusi secara sempurna. Pada pemanasan yang lebih cepat, difusi
yang terjadi masih belum sempurna, sehingga keadaan yang homogen masih belum
tercapai. Jika keadaan tidak homogen ini terjadi pada austenit maka jika
didinginkan dengan cepat akan diperoleh martensit dengan kekerasan yang
berbeda, karena masing-masing berasal dari martensit dengan kadar karbon yang
berbeda.
Untuk membuat
austenit lebih homogen maka perlu diberi kesempatan pada atom-atom untuk
berdifusi secara sempurna, artinya saat pemanasan perlu diberi holding time yang cukup sehingga
austenit menjadi homogen. Lamanya holding time ini tergantung pada laju
pemanasan, makin tinggi laju pemanasannya maka makin panjang holding time yang harus diberikan.
3.
Laju pendinginan
Untuk memperoleh struktur yang
sepenuhnya martensit maka laju pendinginan harus mampu mencapai laju pendinginan
kritis (Critic cooling rate-CCR). Dengan laju pendinginan yang kurang dari CCR
akan mengakibatkan adanya sebagian austenit yang tidak bisa bertransformasi
menjadi martensit tetapi menjadi struktur lain sehingga kekerasan maksimum
tersebut tidak akan tercapai.
Laju pendinginan yang terjadi
pada suatu benda kerja tergantung pada beberapa faktor terutama:
-
Jenis media
pendinginnya
-
Temperatur media
pendingin
-
Kuatnya sirkulasi
pada media pendingin
4.
Ukuran dan berat
benda kerja
Karena hanya permukaan benda
kerja saja yang berhubungan langsung dengan media pendingin, maka rasio antara
luas permukaan dengan berat benda kerja menjadi faktor penting yang ikut
menentukan laju pendinginan benda kerja. Luas permukaan ini merupakan fungsi
dari bentuk geometris dan ukuran benda kerja. Rasio yang besar akan menjadikan
laju pendinginan benda kerja tinggi. Benda kerja berbentuk pelat akan lebih
cepat menjadi dingin daripada yang berbentuk bola, karena pelat mempunyai angka
perbandingan luas permukaan per berat yang lebih besar.
Bentuk yang sama,
dengan ukuran yang lebih besar akan memperkecil angka perbandingan luas
permukaan per berat. Dengan demikian jika didinginkan dalam media pendingin
yang sama laju pendinginannya yang terjadi akan lebih rendah. Benda kerja yang
lebih kecil lebih mudah menjadi martensit.
5.
Hardenability
Hardenability merupakan suatu
sifat suatu baja yang menggambarkan mudah tidaknya suatu baja itu dikeraskan
dengan pembentukan martensit, hingga mencapai kekerasan tertentu pada kedalaman
tertentu. Kekerasan ini akan dapat tercapai jika baja tersebut dapat mencapai
jumlah martensit tertentu yaitu jika didinginkan dengan laju pendinginan
tertentu.
Dalam melakukan
pengerasan dengan pembentukan martensit, asalkan pada pendinginan tercapai laju
pendinginan kritis (CCR) maka kekerasan yang terjadi pada dasarnya tergantung
pada kadar karbon, unsur paduan dan ukuran butir dari baja itu . Jika laju
pendinginan yang terjadi pada benda kerja lebih lambat dari laju pendinginan
kritis maka jumlah martensit yang terbentuk akan berkurang. Hubungan antara
kekerasan dengan kadar karbon dan jumlah martensit yang terbentuk, digambarkan
dalam kurva di bawah ini.
Gambar 2.2 Hubungan antara karbon dalam austenit, jumlah martensit
dan kekerasan yang terjadi
Gambar diatas
memperlihatkan kekerasan yang akan dicapai bila dapat diperoleh sejumlah
martensit dengan kadar karbon tertentu, tidak memperlihatkan bagaimana sejumlah
martensit itu diperoleh.
2.2.2
Proses Pendinginan (Quenching)
Disamping melalui perlakuan
panas, sifat-sifat logam yang didinginkan dapat diperoleh juga dari tahap
pendinginan logam. Kecepatan pendinginan logam dengan cepat dikenal dengan
istilah quenching yang dipengaruhi
oleh jenis media pendingin yang digunakan.
Reaksi yang terjadi antara benda kerja dengan media
pendingin pada saat pencelupan mengalami tiga tahap yaitu:
1.
Terjadinya kontak
antara permukaan benda kerja yang memiliki suhu tinggi dengan quenching. Terbentuk lapisan uap
disekitar permukaan benda kerja dan ini akan mengurangi kecepatan pendinginan
karena lapisan tersebut mempunyai sifat penghantar rendah.
2.
Terbentuk
gelembung-gelembung uap yang berfungsi memindahkan panas dari benda kerja dan
media quenching.
3.
Terjadinya kontak
antara logam dengan media quenching secara sempurna yaitu ketika suhu benda
kerja sudah dibawah titik media quenching, pemindahan panas berlangsung kurang
cepat karena konduksi panas berlangsung rendah.
Media pendingin yang baik adalah yang mempunyai
kemampuan menurunkan panas (waktu pendinginan) yang tinggi. Sehingga waktu
pendinginan pada baja dapat digambarkan sebagai fungsi antara waktu dan media
pendingin.
1.
Pendinginan dengan
air
Air secara umum digunakan dalam pendinginan dengan
karakteristik yang ideal, karena proses pendinginan dengan air berlangsung
dengan cepat. Ini akan berpengaruh terhadap salah satu sifat logam yang ingin
diperoleh, yaitu sifat kekerasan logam. Semakin cepat proses pendinginan
maksimal kekerasan juga semakin meningkat. Akan tetapi diikuti juga
kecenderungan terjadinya kerusakan (distorsi) yang berlebihan.
2.
Pendinginan dengan
minyak
Pendinginan dengan
minyak berlangsung lebih lambat jika dibandingkan ketika pendinginan
menggunakan media air. Sehingga kecenderungan terjadinya kerusakan minimum.
Transfer panas yang terjadi ketika baja yang telah dipanaskan bersentuhan
dengan media pendingin, tidak merata dari setiap permukaan atau batang baja
sehingga kekerasannya juga tidak merata.
Pada bagian yang
secara langsung bersentuhan dengan media pendingin mempunyai kekerasan yang
paling tinggi dan semakin jauh dari bidang sentuhan kekerasannya semakin
berkurang. Waktu pendinginan juga mempengaruhi ukuran butir penyusunnya.
Semakin cepat waktu pendinginan, maka butiran yang terbentuk semakin kecil.
Pada penelitian ini subyek baja St. 60
diberi dengan media pendingin air ditambah dromus oil dengan kadar yang sudah
ditentukan.
2.2.3
Tempering
Tempering adalah pemanasan kembali dari baja yang telah dikeraskan
pada suhu dibawah suhu kritis yang disusul dengan pendinginan (Djaprie,
1989:148) untuk menghilangkan tegangan dalam (sisa) dari baja akibat proses quenching. Tempering dilakukan untuk
mendapatkan sifat baja yang keuletannya lebih baik, tetapi kekerasan dan
kekuatan tariknya sedikit lebih rendah. Baja yang telah dikeraskan bersifat
rapuh dan tidak cocok untuk digunakan. Melalui tempering, kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi
persyaratan penggunaan. Kekerasan turun, maka kekuatan tarik akan turun pula,
sedang keuletan dan ketangguhan baja akan meningkat.
Proses tempering
terdiri dari pemanasan kembali dari baja yang telah dikeraskan pada suhu
dibawah suhu kritis, disusul dengan pendinginan dalam periode waktu tertentu.
Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lebih lunak, proses ini berbeda
dengan proses anealing karena disini sifat-sifat fisis dapat dikendalikan
dengan cermat. Struktur akhir hasil temper baja yang dikeraskan disebut martensit
temper.
Tempering
dimungkinkan oleh karena struktur martensit tidak stabil. Temper pada suhu
rendah antara 1500C-230 0C tidak akan menghasilkan
penurunan kekerasan yang berarti, karena pemanasan akan menghilangkan tegangan
dalam terlebih dahulu. Apabila suhu temper meningkat, martensit terurai lebih cepat
dan pada suhu sekitar 3150C perubahan fasa menjadi martensit temper
berlangsung cepat. (Amstead, 1995:149).
Suhu tempering dapat dibedakan menjadi tiga
kelas, yaitu:
1.
Tempering
pada suhu rendah (200-314 0C). Perlakuan ini bertujuan untuk
mengurangi tegangan-tegangan keruh dan kerapuhan dari baja.
2.
Tempering
pada suhu menengah (315-499 0C). Perlakuan ini bertujuan untuk
menjadikan keuletan dan kekerasannya sedikit berkurang.
3.
Tempering
pada suhu tinggi (500-650 0C). Perlakuan ini bertujuan untuk
memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak
rendah.
Tingginya suhu tempering dan holding time pada benda kerja tergantung pada jenis dan kekerasan
baja yang dikehendaki. Semakin tinggi dan semakin lama holding time yang diberikan, semakin banyak terbentuk trosit dan
sorbit sehingga kekerasan menjadi lebih rendah, keuletannya bertambah. Proses
pendinginan temper dalam tempering
umumnya bersifat alami yaitu pendinginan benda kerja pada udara terbuka atau
dalam dapur. Tempering pada
penelitian ini dilakukan pada suhu 2000C dan holding time selama 1
jam didinginkan perlahan-lahan dalam dapur untuk mendapatkan keuletan spesimen
yang maksimal.
2.3
Media Pendingin
Tujuan dari proses quenching
adalah untuk mendapatkan kekerasan yang optimal. Kekerasan (hardness) adalah sifat mekanik yang
berhubungan dengan kekuatan tarik dan merupakan fungsi dari kadar karbon dalam
baja. Sebagai media pendingin yang dipakai di dalam penelitian ini adalah air
yang ditambahkan dromus oil dengan kadar yang bervariasi yaitu 5%, 15%, 25%,
35% dan 45%. Hal-hal yang mempengaruhi kecepatan pendinginan pada media
pendingin adalah sebagai berikut:
a.
Viskositas
Viskositas
merupakan kekentalan atau tingkat kekentalan yang dimiliki suatu fluida atau
zat cair. Semakin tinggi angka viskositasnya, maka semakin lambat laju pendinginannya.
Misalnya pada oli atau air garam, dimana air garam memiliki tingkat viskositas
yang rendah, namun massa jenisnya tinggi sehingga laju pendinginan cepat
dibandingkan oli yang memiliki tinggi sehingga laju pendinginan cepat
dibandingkan dengan oli yang memiliki tingkat viskositas tinggi sehingga panas
sulit menguap dengan cepat sehingga laju pendinginan lambat.
b.
Densitas
atau Massa jenis
Densitas merupakan
massa jenis yang dimiliki media pendingin (fluida). Semakin tinggi densitas
yang dimiliki suatu media pendingin maka semakin cepat laju pendinginannya.
c.
Temperatur
Semakin tinggi
temperatur suatu bahan maka luju pendinginan juga semakin lambat, tetapi ini
tergantung dari media pendingin yang digunakan, semakin rendah temperature yang
dibutuhkan suatu bahan maka semakin cepat laju pendinginannya.
d.
Waktu
Semakin cepat laju
pendinginan maka waktu yang diperlukan semakin sedikit/singkat, begitu juga
sebaliknya semakin lama laju pendinginan maka waktu yang dibutuhkan semakin
banyak.
2.3.1
Air
Air merupakan substansi kimia
dengan rumus kimi H2O. Satu molekul air terdiri dari dua atom hidrogen yang
terikat secara kovalen dengan satu atom oksigen Mc. Murry (2004:51).
Air mempunyai laju
pendinginan yang cukup baik sehingga banyak digunakan sebagai media pendingin
dalam perlakuan panas. Oleh karena itu, pada baja karbon rendah dan sedang
menggunakan air sebagai media pendinginnya.
2.3.2
Dromus Oil
Dromus oil
merupakan minyak mineral hasil penyulingan dan adiptif yang komposisi dan sifat
kimianya pada tabel 2.1 Dromus Oil memberikan pendinginan yang sangat baik,
pelumasan dan perlindungan karat digunakan dalam berbagai pengerolan dan
pengerjaan mesin. Dromus oil
mempunyai kelarutan tingkat tinggi terhadap air sehingga dapat diemulsikan
dengan rasio air:dromus oil biasanya 20:1 sampai 40:1 dengan demikian memungkinkan
dimanfaatkan sebagai pendinginan pada pengerasan baja.
Tabel
2.1 Komposisi dan Sifat Kimia Dromus Oil
NO.
|
Komposisi
|
Chemical Properties
|
|
Name
|
Proportion
|
||
1
|
Sodium sulphonate
|
1 - 4.9%
|
Initial boiling : > 100 0C
|
2
|
Polyolefin ether
|
1 – 3%
|
Flash point : > 100 0C
|
3
|
Alkyl amide
|
1 -3 %
|
Density : 930 Kg/m3
at 15 0C
|
4
|
Long chain alkenyl amide borate
|
1 – 2.4%
|
Kinematic viscositty 400 mm2/sec
|
(Sumber: Karmin dan Muchtar Ginting, 2012:3)
2.4
Pengujian Logam
Smallman (1991:82) mengemukakan bahwa dengan mengamati sifat mekanik logam,
akan diperoleh informasi sifat- sifat cacat kisi tersebut. Pengujian mekanik
logam yang biasa digunakan seperti uji tarik, kekerasan, impak, creep dan
fatik.
2.4.1
Pengujian Kekerasan
Tim Pengajar Metalurgi ITS (1992:21)
menyatakan bahwa kekerasan suatu bahan merupakan salah satu sifat mekanik yang
penting. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengujian yang lebih sederhana
dibandingkan dengan pengujian yang lainnya. Adapun definisi dari kekerasan
adalah sebagai berikut:
•
Ketahanan terhadap indentasi permanen
akibat beban dinamis atau statis – kekerasan indentasi.
•
Energi yang diserap pada beban
impact-kekerasan pantul.
•
Kekerasan terhadap goresan-kekerasan
goresan.
•
Ketahanan terhadap abrasi-kekerasan
abrasi.
•
Ketahanan terhadap pemotongan atau
pengeboran-mampu mesin.
Dieter (1996:397) mengemukakan bahwa
pengujian kekerasan Rockwell dapat
diterima tergantung pada kecepatan pengukuran, kesalahan personal, pengetahuan
akan indentasi pada pengukuran sebuah baja, sehingga setelah perlakuan panas
dapat diuji dengan Rockwell tanpa adanya kesalahan. Namun demikian pengujian
kekerasan banyak dilakukan sebab hasilnya dapat digunakan sebagai berikut:
• Pada
bahan yang sama dapat diklasifikasikan berdasarkan kekerasannya. Dengan kekerasan
tersebut dapat ditentukan penggunaan dari bahan tersebut.
• Sebagai
kontrol kualitas suatu product. Misal untuk mengetahui homogenitas akibat suatu
proses pembentukan dingin, pemaduan, heat treatment, case hardening dan
sebagainya. Dengan demikian dapat juga sebagai kontrol terhadap proses yang
dilakukan.
Pada umumnya pengujian kekerasan yang
dilakukan adalah yang berdasarkan penetrasi akibat beban statis. Adapun
pengujian tersebut dibagi menjadi dua yaitu:
1.
Untuk spesimen yang
cukup tebal digunakan pengujian kekerasan Brinell, Rockwell, dan Vickers.
2.
Untuk mengukur
kekerasan bagian kecil atau lapisan-lapisan tipis dari suatu material digunakan
pengujian kekerasan micro hardeness.
2.4.2
Pengujian Tarik
Kekuatan tarik merupakan sifat mekanis yang paling
penting dari logam terutama untuk perhitungan konstruksi. Dibeberapa
sektor industri hasil uji tidak hanya digunakan untuk meneliti “keadaan cacat”
tetapi ditujukan untuk mengetahui kualitas produk sesuai spesifikasi standar. Pembebanan
tarik merupakan suatu pembebanan pada benda dengan memberikan gaya yang
berlawanan pada benda dengan arah menjauh dari titik tengah. Pengujian tarik
paling sering dilakukan karena merupakan dasar pengujian-pengujian dan studi
mengenai kekuatan bahan. Akibat dari penarikan gaya terhadap bahan adalah
perubahan bentuk (deformasi) bahan, yaitu pergeseran butiran kristal logam
hingga terlepasnya ikatan kristal tersebut karena gaya maksimum.
Kekuatan tarik dapat ditentukan dengan menarik sebuah
benda sampai putus. Keterangan-keterangan yang diperoleh pada penarikan sampai
putus tersebut dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran benda. Pada uji tarik,
ujung-ujung benda uji dijepit dengan
kuat dan salah satu ujungnya dihubungkan dengan alat pengukur beban,
sedangkan ujung yang lainnya dengan alat penarik dan ditarik ke arah memanjang
secara perlahan.
(Suherman, 1987:10) menjelaskan bahwa pada saat batang uji menerima beban
sebesar P kg maka batang uji (yaitu panjang uji) akan bertambah panjang sebesar
ΔL mm.
Pada
saat itu batang uji bekerja tegangan yang besarnya:
σ = P/A0 Dimana A0 =
Luas batang uji mula-mula.
Juga
pada saat itu batang terjadi regangan yang besarnya:
∑ = ΔL/L0 = (L- L0)/L
Dimana L0 = Panjang “panjang uji” mula-mula.
L = Panjang “panjang uji” saat menerima beban
Gambar 2.3 Stress-strain diagram for a ductile steel.
(Sumber : Suherman, 1987:11)
Dari gambar diagram tegangan-regangan suatu baja karbon
rendah diatas tampak bahwa tegangan yang kecil grafik berupa garis lurus, ini
berarti bahwa besarnya regangan yang timbul sebagai akibat tegangan yang kecil
tersebut berbanding lurus dengan besarnya tegangan yang bekerja (Hukum Hook).
Hal ini berlaku hiingga titik P yaitu
batas kesebandingan atau proportionality
limit. Setelah itu pertambahan panjang yang terjadi akibat penambahan beban
tidak lagi berbanding lurus.
Pertambahan beban yang sama akan menghasilkan pertambahan
panjang yang lebih besar. Kenaikan beban ini akan berlangsung terus sampai
suatu maximum, dan untuk logam yang ulet (seperti halnya baja karbon rendah)
setelah itu beban mesin tarik akan menurun lagi (tetapi pertambahan panjang
terus berlangsung) sampai akhirnya batang uji putus.
2.4.3
Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan struktur mikro bertujuan untuk mengetahui
perubahan struktur mikro dari suatu material baik sebelum dan sesudah mengalami
perlakuan panas. Struktur mikro ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang,
tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya adalah
mikroskop cahaya, mikroskop electron, mikroskop field on, mikroskop field
emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan SEM (Scanning
Electron Microscopy), adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah
sebagai berikut:
1.
Mempelajari
hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan.
2.
Memperkirakan sifat
bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui.
SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah peralatan untuk
menguji atau melihat struktur permukaan sampel dengan perbesaran sampai dengan
1.000.000 x. Peralatan ini memiliki 2 modus operasional, Low Vacum (untuk
sampel non-konduktif) dan High Vacum (untuk sampel konduktif). Alat ini dilengkapi EDAX yaitu alat yang
dapat digunakan untuk menguji kandungan unsur pada bahan yang dilihat struktur
permukaannya. Kandungan unsur yang dapat diuji mulai dari Berilium s/d Uranium.
Sebaran unsur didalam bahan juga dapat dideteksi berupa Surface area, line dan
mapping (http://central-laboratory.um.ac.id/).
SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada cahaya.
Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa mencapai resolusi
sampai 0,1 – 0,2 nm. Disamping itu dengan menggunakan SEM bisa mendapatkan
beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan karakterisasi. Jika
elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua jenis pantulan yaitu
pantulan elastis dan pantulan non elastis.
Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat beberapa
peralatan utama antara lain:
1.
Pistol elektron,
biasanya berupa filamen yang terbuat dari unsur yang mudah melepas elektron
misal tungsten.
2.
Lensa untuk
elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang bermuatan negatif dapat
dibelokkan oleh medan magnet.
3.
Sistem vakum,
karena elektron sangat kecil dan ringan maka jika ada molekul udara yang lain
elektron yang berjalan menuju sasaran akan terpencar oleh tumbukan sebelum
mengenai sasaran sehingga menghilangkan molekul udara menjadi sangat penting.
Prinsip kerja dari SEM adalah sebagai berikut:
1.
Sebuah pistol elektron
memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda.
2.
Lensa magnetik
memfokuskan elektron menuju ke sampel.
3.
Sinar elektron yang
terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil
pemindai.
4.
Ketika elektron
mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima
oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT).
Dari pantulan inelastis didapatkan sinyal elektron
sekunder dan karakteristik sinar X sedangkan dari pantulan elastis didapatkan
sinyal backscattered electron. Perbedaan gambar dari sinyal elektron sekunder
dengan backscattered adalah sebagai berikut:
Elektron sekunder menghasilkan topografi dari benda yang
dianalisa, permukaan yang tinggi berwarna lebih cerah dari permukaan rendah.
Sedangkan backscattered elektron memberikan perbedaan berat molekul dari atom –
atom yang menyusun permukaan, atom dengan berat molekul tinggi akan berwarna
lebih cerah daripada atom dengan berat molekul rendah.
Namun untuk mengenali jenis atom dipermukaan yang
mengandung multi atom para peneliti lebih banyak mengunakan teknik EDS (Energy
Dispersive Spectroscopy). Sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan
ini, namun tidak semua SEM punya fitur ini. EDS dihasilkan dari Sinar X
karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar X pada posisi yang ingin kita
ketahui komposisinya. Maka setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka
akan muncul puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung.
Dengan EDS kita juga bisa membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan
memberikan warna berbeda – beda dari masing – masing elemen di permukaan bahan.
EDS bisa digunakan untuk menganalisa secara kunatitatif dari persentase masing
– masing elemen.
Aplikasi dari teknik SEM – EDS dirangkum sebagai berikut:
1.
Topografi: Menganalisa
permukaan dan teksture (kekerasan, reflektivitas dsb).
2.
Morfologi:
Menganalisa bentuk dan ukuran dari benda sampel
3.
Komposisi:
Menganalisa komposisi dari permukaan benda secara kuantitatif dan kualitatif.
Sedangkan kelemahan dari teknik SEM antara lain:
1.
Memerlukan kondisi
vakum
2.
Hanya menganalisa
permukaan
3.
Resolusi lebih
rendah dari SEM Sampel harus bahan yang konduktif, jika tidak konduktor maka
perlu dilapis logam seperti emas.
2.5
Pengaruh Kadar Dromus
Oil dalam Media Pendingin Terhadap Kekerasan, Kekuatan Tarik, dan Struktur
Mikro.
Hasil pengujian kekerasan, dapat dibandingkan antara
material sebelum dikeraskan maupun setelah dikeraskan dengan berbagai media
pendingin dromus oil dengan
perbandingan kadar tertentu. Grafik pada gambar 2.4 menunjukan bahwa baja
amutit bila dilakukan proses pengerasan, kekerasanya dapat meningkat cukup
signifikan yaitu dari rata-rata 17,5 HRc dapat mencapai 65 HRc lebih. Namun
demikian bila dibandingkan dari ketiga perlakuan dengan media pendingin emulsi dromus oil, kekerasan yang dicapai tidak
begitu jauh, kekerasan tertinggi (63,91 HRc) diperoleh dengan menggunakan media
pendingin dromus rasio 1:30. Artinya emulsi dromus oil dengan air mempunyai
efek untuk meningkatkan kekerasan.
Diagram Hasil
Pengujian Kekerasan
Gambar 2.4 Diagram Perbedaan
Kekerasan Baja Amutit Hasil Quenching
dengan Quenching-Tempering (Sumber:
Karmin dan Muchtar Ginting, 2012:5).
Karmin dan Muchtar Ginting (2012:7) menyebutkan bahwa, dari hasil proses quenching baja amutit menggunakan media
pendingin emulsi minyak dromus dengan air yang rasionya 1: 10, 1; 20 dan 1: 30,
setelah melalui pengujian-pengujian dan analisanya maka dapat diambil beberapa
kesimpulan:
1.
Penggunaan medium quenching emulsi minyak dromus dengan
air mempunyai pengaruh yang berbeda- beda terhadap sifat mekanik baja amutit,
makin banyak menambahkan volume air kedalam minyak dromus cendrung meningkatkan
kekerasan dan kekuatan. Hasil pengujian dengan variasi rasio emulsi diperoleh :
·
Dengan rasio emulsi
1/10, diperoleh kekerasan 62.08 HRc,
·
Dengan rasio emulsi
1/20, diperoleh kekerasan 62,42 HRc,
·
Dengan rasio emulsi
1/30, diperoleh kekerasan 63.08 HRc,
2.
Hasil yang
diperoleh melalui quenching dengan
emulsi dromus oil dan air yang dilanjutkan tempering, nilai kekerasan tertinggi 63,08 HRc diperoleh dengan
menggunakan emulsi dromus oil dengan
air rasio 1:30. Melihat dari kenyataaan ini, prosentase campuran yang paling
dominan peningkatan kekerasan yaitu menggunakan media emulsi dengan rasio 1
bagian dromus oil dengan 30 bagian
air.
3.
Efek yang tidak
menguntungkan dari ketiga medium pendingin dengan perbedaan rasio tersebut
masing-masing memberikan efek retak dan distorsi terutama bila diterapkan pada
material dengan geometri yang memberi peluang untuk terkosentrasinya tegangan
selama pendinginan. Dengan demikian bila ingin menggunakan media quenching ini,
geometri material perlu dipertimbangkan supaya bentuknya simetris.
4.
Hasil proses
pengerasan baja amutit ini, jika dibandingkan dengan kekerasan pahat bubut HSS
produk cina ( ± 57 HRc ), pahat bubut
merk Bohler Mo Rapid Extra kekerasannya
58-61 HRc, dengan demikian produk ini memungkinkan untuk dipakai sebagai pahat
bubut alternatif pengganti pahat bubut HSS produk cina, hanya saja masih perlu
diteliti masalah perbedaan ketangguhannya.
Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Karmin dan
Muchtar Ginting dapat dijelaskan bahwa media pendingin emulsi dromus oil dengan
air mempunyai pengaruh untuk meningkatkan kekerasan. Sehingga kekuatan tarik
akan meningkat pula, sedangkan keuletan dan ketangguhan baja akan menurun. Dengan
kata lain nilai kekerasan dan kekuatan tarik pada logam yang sudah mengalami
perlakuan panas hardening tempering dengan
laju pendinginan cepat menggunakan media
pendingin emulsi dromus oil dan air
berbanding terbalik dengan keuletan serta ketangguhan logam tersebut. Dengan meningkatnya kekerasan dan
kekuatan tarik pada baja akibat proses hardening
tempering maka dalam penggunaannya akan mengalami perubahan struktur mikro.
No comments:
Post a Comment