Friday, 28 February 2014

Dromus Oil BAB II 28 Februari 2014

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1    Baja
Daryanto (2006:22) mengemukakan bahwa baja dapat didefinisikan suatu campuran dari besi dan karbon, dimana unsur karbon (C) menjadi dasar campurannya. Disamping itu, mengandung unsur campuran lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi.
Kandungan karbon di dalam baja sekitar 0,1-1,7%, sedangkan unsur lainnya dibatasi presentasenya. Menurut komposisi kimianya baja dapat dapat dibagi menjadi dua yaitu baja karbon (baja tanpa paduan, plain carbon steel) dan baja paduan.
2.1.1   Baja Karbon
Suherman (1988:72) menjelaskan bahwa baja karbon bukan berarti baja yang sama sekali tidak mengandung unsur lain selain besi dan karbon. Baja karbon masih mengandung sejumlah unsur lain, tetapi masih dalam batas-batas tertentu yang tidak banyak berpengaruh terhadap sifatnya. Unsur-unsur ini biasanya merupakan unsur bawaan yang berasal dari proses pembuatan baja, seperti mangan, silikon dan beberapa unsur pengotor seperti belerang, phosphor, oksigen, nitrogen, dan lainnya yang biasanya ditekan sampai kadar yang sangat kecil. Baja dengan kadar mangan kurang dari 0,8%, silikon kurang dari 0,5% dan unsur lain yang sangat sedikit dapat dianggap sebagai baja karbon.

Menurut Daryanto (2006:33), baja karbon dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kandungan karbonnya yaitu:
1.        Baja karbon rendah (Low carbon steel)
Baja ini disebut baja ringan (mild steel), baja karbon rendah bukan baja yang keras, karena kandungan karbonnya kurang dari 0,3%. Baja ini dapat dijadikan mur, baut, peralatan senjata, alat pengangkat presisi, batang tarik, perkakas silinder, dan yang lainnya. Baja ini kekuatannya relatif rendah, lunak tetapi keuletannya tinggi, mudah dibentuk dan dimachining.
2.      Baja karbon sedang (Medium carbon steel)
Baja karbon sedang mengandung 0,3-0,6% lebih kuat dan keras serta kandungan karbonnya memungkinkan baja dikeraskan dengan perlakuan panas. Penggunaan baja karbon sedang hampir sama dengan baja karbon rendah yaitu untuk keperluan kekuatan dan ketangguhan yang lebih tinggi seperti baja konstruksi mesin, untuk poros, roda gigi, rantai dan yag lainnya.
3.      Baja karbon tinggi (High carbon steel)
Baja karbon tinggi mengandung 0,6-1,5% karbon, sifatnya lebih keras dan lebih kuat lagi, tetapi ketangguhan dan keuletannya rendah. Baja ini digunakan terutama untuk perkakas yang memerlukan sifat tahan aus, misal untuk mata bor, reamer, tap, dan perkakas tangan yang lainnya.

2.1.2   Baja St. 60
Baja St. 60 merupakan baja karbon menengah yang digunakan sebagai bahan pembuatan poros dan komponen mesin lainnya. Adapun profil baja st 60 menurut Beumer (1985:96) adalah carbon (C) ± 0,2-0,6 %, silikon (Si) ± 0,50 %, mangan (Mn) ± 0,6 %, besi (Fe) ± 98 %, kalsium (Ca) ± 0,20 %, skandium (Sc) ± 0,045 %, khrom (Cr) ± 0,17 %, nikel (Ni) ± 0,048 %, cuprum (Cu) ± 0,25 %, zing (Zn) ± 0,02 %, lantanum (La) ± 0,02 %, europium ± 0,50 %, renium (Re) ± 0,05 %, osmium (Os) ± 0,11 %, kekuatan tarik ± 62,15 kgf/mm2. Baja ini termasuk dalam baja tempa campuran yang dapat dikeraskan dan biasanya digunakan dalam konstruksi mesin.
2.2       Perlakuan Panas (Heat Treatment)
Perlakuan panas adalah proses  untuk memperbaiki sifat logam dengan cara memanipulasi temperatur dan laju pendinginan pada logam. Secara garis besar Wahono (2011:4) menyebutkan bahwa prosedur perlakuan panas meliputi (1) memanaskan logam hingga temperatur tertentu (heating), (2) menahan logam tersebut dalam periode tertentu (holding/soaking time) dan (3) mendinginkan logam tesebut dengan laju pendinginan (cooling rate) tertentu.
2.2.1   Pengerasan (Hardening)
Suherman (1988:33) menyatakan bahwa pengerasan adalah salah satu laku panas dengan kondisi non-equilibrium, laku panas yang pendinginannya berlangsung pada kondisi non-equilibrium, pendinginan yang sangat cepat, sehingga struktur mikro yang akan diperoleh juga struktur mikro yang tidak equilibrium.
Kekerasan baja tergantung pada komposisi kimianya, terutama kadar karbonnya. Semakin tinggi kadar karbonnya maka semakin keras. Tetapi kekerasan baja masih dapat diubah lagi dengan merubah struktur mikronya. Kekerasan yang sangat tinggi dapat diperoleh dengan melakukan proses laku panas untuk memperoleh struktur martensit.
Hardening dilakukan dengan memanaskan baja hingga mencapai temperatur austenit, dipertahankan beberapa saat pada temperatur tersebut, lalu didinginkan dengan cepat, sehingga akan diperoleh martensit yang keras. Biasanya sesudah proses hardening selesai, segera diikuti proses tempering. Kekerasan maksimum yang dapat dicapai setelah proses hardening banyak tergantung pada kadar karbon, makin tinggi kadar karbon makin tinggi kekerasan maksimum yang dapat dicapai. Pada baja dengan kadar karbon rendah kenaikan kekerasan setelah hardening hampir tidak berarti, karenanya proses pengerasan hanya dilakukan terhadap baja dengan kadar karbon yang memadai yaitu tidak kurang dari 0,30% C. Makin tinggi kadar karbon, makin tinggi kekerasan maksimum yang dapat dicapai, juga kenaikan kekerasan, tetapi sampai batas tertentu (sekitar 0,41% C).


 (Sumber: Suherman, 1988:34)
Gambar 2.1 Hubungan antara kandungan karbon dengan kekerasan baja
Pada kondisi pemanasan belum tentu semua karbon dalam baja akan larut di dalam austenit, tergantung juga pada tingginya temperatur pemanasan. Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi setelah proses hardening banyak tergantung pada beberapa hal yaitu tingginya temperatur austenitising, homogenity dari austenit, laju pendinginan, kondisi permukaan benda kerja, dan ukuran/berat benda.
1.      Temperatur austenitising
Temperatur austenitising yang dianjurkan untuk melakukan hardening adalah 250-500 0C di atas temperatur kritis A3 untuk baja hypoeutektoid. Temperatur pemanasan yang hanya di bawah temperatur eutektoid tidak akan menghasilkan kenaikan kekerasan karena pada pemanasan tersebut tidak akan terjadi austenit sehingga pada pendinginan nantinya tidak akan terbentuk martensit.
Pemanasan yang hanya antara temperatur A1 dan A3 memang sudah menghasilkan austenit tetapi masih terdapat ferrit yang jika didinginkan kembali, ferrit ini masih tetap berupa ferrit yang lunak. Jika pemanasan diteruskan pada temperatur yang lebih tinggi, maka akan diperoleh austenit dengan butiran yang terlalu kasar, sehingga jika didinginkan kembali akan ada kemungkinan terjadi struktur yang terlalu getas dan tegangan yang terlalu besar yang dapat menimbulkan distorsi bahkan juga baja akan retak.
2.      Homogenity austenit
Pada pemanasan equilibrium akan diperoleh struktur yang mempunyai komposisi yang homogen, karena pada pemanasan yang sangat lambat ini atom-atom akan berdifusi secara sempurna. Pada pemanasan yang lebih cepat, difusi yang terjadi masih belum sempurna, sehingga keadaan yang homogen masih belum tercapai. Jika keadaan tidak homogen ini terjadi pada austenit maka jika didinginkan dengan cepat akan diperoleh martensit dengan kekerasan yang berbeda, karena masing-masing berasal dari martensit dengan kadar karbon yang berbeda.
Untuk membuat austenit lebih homogen maka perlu diberi kesempatan pada atom-atom untuk berdifusi secara sempurna, artinya saat pemanasan perlu diberi holding time yang cukup sehingga austenit menjadi homogen. Lamanya holding time ini tergantung pada laju pemanasan, makin tinggi laju pemanasannya maka makin panjang holding time yang harus diberikan.
3.      Laju pendinginan
Untuk memperoleh struktur yang sepenuhnya martensit maka laju pendinginan harus mampu mencapai laju pendinginan kritis (Critic cooling rate-CCR). Dengan laju pendinginan yang kurang dari CCR akan mengakibatkan adanya sebagian austenit yang tidak bisa bertransformasi menjadi martensit tetapi menjadi struktur lain sehingga kekerasan maksimum tersebut tidak akan tercapai.
Laju pendinginan yang terjadi pada suatu benda kerja tergantung pada beberapa faktor terutama:
-          Jenis media pendinginnya
-          Temperatur media pendingin
-          Kuatnya sirkulasi pada media pendingin 

4.      Ukuran dan berat benda kerja
Karena hanya permukaan benda kerja saja yang berhubungan langsung dengan media pendingin, maka rasio antara luas permukaan dengan berat benda kerja menjadi faktor penting yang ikut menentukan laju pendinginan benda kerja. Luas permukaan ini merupakan fungsi dari bentuk geometris dan ukuran benda kerja. Rasio yang besar akan menjadikan laju pendinginan benda kerja tinggi. Benda kerja berbentuk pelat akan lebih cepat menjadi dingin daripada yang berbentuk bola, karena pelat mempunyai angka perbandingan luas permukaan per berat yang lebih besar.
Bentuk yang sama, dengan ukuran yang lebih besar akan memperkecil angka perbandingan luas permukaan per berat. Dengan demikian jika didinginkan dalam media pendingin yang sama laju pendinginannya yang terjadi akan lebih rendah. Benda kerja yang lebih kecil lebih mudah menjadi martensit.
5.      Hardenability
Hardenability merupakan suatu sifat suatu baja yang menggambarkan mudah tidaknya suatu baja itu dikeraskan dengan pembentukan martensit, hingga mencapai kekerasan tertentu pada kedalaman tertentu. Kekerasan ini akan dapat tercapai jika baja tersebut dapat mencapai jumlah martensit tertentu yaitu jika didinginkan dengan laju pendinginan tertentu.
Dalam melakukan pengerasan dengan pembentukan martensit, asalkan pada pendinginan tercapai laju pendinginan kritis (CCR) maka kekerasan yang terjadi pada dasarnya tergantung pada kadar karbon, unsur paduan dan ukuran butir dari baja itu . Jika laju pendinginan yang terjadi pada benda kerja lebih lambat dari laju pendinginan kritis maka jumlah martensit yang terbentuk akan berkurang. Hubungan antara kekerasan dengan kadar karbon dan jumlah martensit yang terbentuk, digambarkan dalam kurva di bawah ini.
Hardness HRc (Sumber : Tim Pengajar Metalurgi ITS, 1992:27 )









Gambar 2.2 Hubungan antara karbon dalam austenit, jumlah martensit dan kekerasan yang terjadi
Gambar diatas memperlihatkan kekerasan yang akan dicapai bila dapat diperoleh sejumlah martensit dengan kadar karbon tertentu, tidak memperlihatkan bagaimana sejumlah martensit itu diperoleh.
2.2.2   Proses Pendinginan (Quenching)
Disamping melalui perlakuan panas, sifat-sifat logam yang didinginkan dapat diperoleh juga dari tahap pendinginan logam. Kecepatan pendinginan logam dengan cepat dikenal dengan istilah quenching yang dipengaruhi oleh jenis media pendingin yang digunakan.
Reaksi yang terjadi antara benda kerja dengan media pendingin pada saat pencelupan mengalami tiga tahap yaitu:
1.      Terjadinya kontak antara permukaan benda kerja yang memiliki suhu tinggi dengan quenching. Terbentuk lapisan uap disekitar permukaan benda kerja dan ini akan mengurangi kecepatan pendinginan karena lapisan tersebut mempunyai sifat penghantar rendah.
2.      Terbentuk gelembung-gelembung uap yang berfungsi memindahkan panas dari benda kerja dan media quenching.
3.      Terjadinya kontak antara logam dengan media quenching secara sempurna yaitu ketika suhu benda kerja sudah dibawah titik media quenching, pemindahan panas berlangsung kurang cepat karena konduksi panas berlangsung rendah.
 Media pendingin yang baik adalah yang mempunyai kemampuan menurunkan panas (waktu pendinginan) yang tinggi. Sehingga waktu pendinginan pada baja dapat digambarkan sebagai fungsi antara waktu dan media pendingin.
1.    Pendinginan dengan air
Air secara umum digunakan dalam pendinginan dengan karakteristik yang ideal, karena proses pendinginan dengan air berlangsung dengan cepat. Ini akan berpengaruh terhadap salah satu sifat logam yang ingin diperoleh, yaitu sifat kekerasan logam. Semakin cepat proses pendinginan maksimal kekerasan juga semakin meningkat. Akan tetapi diikuti juga kecenderungan terjadinya kerusakan (distorsi) yang berlebihan.

2.    Pendinginan dengan minyak
Pendinginan dengan minyak berlangsung lebih lambat jika dibandingkan ketika pendinginan menggunakan media air. Sehingga kecenderungan terjadinya kerusakan minimum. Transfer panas yang terjadi ketika baja yang telah dipanaskan bersentuhan dengan media pendingin, tidak merata dari setiap permukaan atau batang baja sehingga kekerasannya juga tidak merata.
Pada bagian yang secara langsung bersentuhan dengan media pendingin mempunyai kekerasan yang paling tinggi dan semakin jauh dari bidang sentuhan kekerasannya semakin berkurang. Waktu pendinginan juga mempengaruhi ukuran butir penyusunnya. Semakin cepat waktu pendinginan, maka butiran yang terbentuk semakin kecil. Pada penelitian ini subyek baja   St. 60 diberi dengan media pendingin air ditambah dromus oil dengan kadar yang sudah ditentukan. 
  
2.2.3   Tempering
Tempering adalah pemanasan kembali dari baja yang telah dikeraskan pada suhu dibawah suhu kritis yang disusul dengan pendinginan (Djaprie, 1989:148) untuk menghilangkan tegangan dalam (sisa) dari baja akibat proses quenching. Tempering dilakukan untuk mendapatkan sifat baja yang keuletannya lebih baik, tetapi kekerasan dan kekuatan tariknya sedikit lebih rendah. Baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan. Melalui tempering, kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan penggunaan. Kekerasan turun, maka kekuatan tarik akan turun pula, sedang keuletan dan ketangguhan baja akan meningkat.
Proses tempering terdiri dari pemanasan kembali dari baja yang telah dikeraskan pada suhu dibawah suhu kritis, disusul dengan pendinginan dalam periode waktu tertentu. Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lebih lunak, proses ini berbeda dengan proses anealing karena disini sifat-sifat fisis dapat dikendalikan dengan cermat. Struktur akhir hasil temper baja yang dikeraskan disebut martensit temper.
Tempering dimungkinkan oleh karena struktur martensit tidak stabil. Temper pada suhu rendah antara 1500C-230 0C tidak akan menghasilkan penurunan kekerasan yang berarti, karena pemanasan akan menghilangkan tegangan dalam terlebih dahulu. Apabila suhu temper meningkat, martensit terurai lebih cepat dan pada suhu sekitar 3150C perubahan fasa menjadi martensit temper berlangsung cepat. (Amstead, 1995:149).
Suhu tempering dapat dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu:
1.        Tempering pada suhu rendah (200-314 0C). Perlakuan ini bertujuan untuk mengurangi tegangan-tegangan keruh dan kerapuhan dari baja.
2.        Tempering pada suhu menengah (315-499 0C). Perlakuan ini bertujuan untuk menjadikan keuletan dan kekerasannya sedikit berkurang.
3.        Tempering pada suhu tinggi (500-650 0C). Perlakuan ini bertujuan untuk memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah.
Tingginya suhu tempering dan holding time pada benda kerja tergantung pada jenis dan kekerasan baja yang dikehendaki. Semakin tinggi dan semakin lama holding time yang diberikan, semakin banyak terbentuk trosit dan sorbit sehingga kekerasan menjadi lebih rendah, keuletannya bertambah. Proses pendinginan temper dalam tempering umumnya bersifat alami yaitu pendinginan benda kerja pada udara terbuka atau dalam dapur. Tempering pada penelitian ini dilakukan pada suhu 2000C dan holding time selama 1 jam didinginkan perlahan-lahan dalam dapur untuk mendapatkan keuletan spesimen yang maksimal.
2.3    Media Pendingin
Tujuan dari proses quenching adalah untuk mendapatkan kekerasan yang optimal. Kekerasan (hardness) adalah sifat mekanik yang berhubungan dengan kekuatan tarik dan merupakan fungsi dari kadar karbon dalam baja. Sebagai media pendingin yang dipakai di dalam penelitian ini adalah air yang ditambahkan dromus oil dengan kadar yang bervariasi yaitu 5%, 15%, 25%, 35% dan 45%. Hal-hal yang mempengaruhi kecepatan pendinginan pada media pendingin adalah sebagai berikut:
a.     Viskositas
Viskositas merupakan kekentalan atau tingkat kekentalan yang dimiliki suatu fluida atau zat cair. Semakin tinggi angka viskositasnya, maka semakin lambat laju pendinginannya. Misalnya pada oli atau air garam, dimana air garam memiliki tingkat viskositas yang rendah, namun massa jenisnya tinggi sehingga laju pendinginan cepat dibandingkan oli yang memiliki tinggi sehingga laju pendinginan cepat dibandingkan dengan oli yang memiliki tingkat viskositas tinggi sehingga panas sulit menguap dengan cepat sehingga laju pendinginan lambat.  
b.    Densitas atau Massa jenis
Densitas merupakan massa jenis yang dimiliki media pendingin (fluida). Semakin tinggi densitas yang dimiliki suatu media pendingin maka semakin cepat laju pendinginannya.
c.     Temperatur
Semakin tinggi temperatur suatu bahan maka luju pendinginan juga semakin lambat, tetapi ini tergantung dari media pendingin yang digunakan, semakin rendah temperature yang dibutuhkan suatu bahan maka semakin cepat laju pendinginannya.
d.    Waktu
Semakin cepat laju pendinginan maka waktu yang diperlukan semakin sedikit/singkat, begitu juga sebaliknya semakin lama laju pendinginan maka waktu yang dibutuhkan semakin banyak.
2.3.1   Air
Air merupakan substansi kimia dengan rumus kimi H2O. Satu molekul air terdiri dari dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen dengan satu atom oksigen Mc. Murry (2004:51).
Air mempunyai laju pendinginan yang cukup baik sehingga banyak digunakan sebagai media pendingin dalam perlakuan panas. Oleh karena itu, pada baja karbon rendah dan sedang menggunakan air sebagai media pendinginnya.
2.3.2   Dromus Oil
Dromus oil merupakan minyak mineral hasil penyulingan dan adiptif yang komposisi dan sifat kimianya pada tabel 2.1 Dromus Oil  memberikan pendinginan yang sangat baik, pelumasan dan perlindungan karat digunakan dalam berbagai pengerolan dan pengerjaan mesin. Dromus oil mempunyai kelarutan tingkat tinggi terhadap air sehingga dapat diemulsikan dengan rasio air:dromus oil biasanya 20:1 sampai  40:1 dengan demikian memungkinkan dimanfaatkan sebagai pendinginan pada pengerasan baja.

Tabel 2.1 Komposisi dan Sifat Kimia Dromus Oil
NO.
Komposisi
Chemical Properties
Name
Proportion
1
Sodium sulphonate
1 - 4.9%
Initial boiling : > 100 0C
2
Polyolefin ether
1 – 3%
Flash point : > 100 0C
3
Alkyl amide
1 -3 %
Density : 930 Kg/m3 at 15 0C
4
Long chain alkenyl amide borate
1 – 2.4%
Kinematic viscositty 400 mm2/sec
(Sumber: Karmin dan Muchtar Ginting, 2012:3)


2.4    Pengujian Logam
Smallman (1991:82) mengemukakan bahwa dengan mengamati sifat mekanik logam, akan diperoleh informasi sifat- sifat cacat kisi tersebut. Pengujian mekanik logam yang biasa digunakan seperti uji tarik, kekerasan, impak, creep dan fatik.

2.4.1   Pengujian Kekerasan
Tim Pengajar Metalurgi ITS (1992:21) menyatakan bahwa kekerasan suatu bahan merupakan salah satu sifat mekanik yang penting. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengujian yang lebih sederhana dibandingkan dengan pengujian yang lainnya. Adapun definisi dari kekerasan adalah sebagai berikut:
      Ketahanan terhadap indentasi permanen akibat beban dinamis atau statis – kekerasan indentasi.
      Energi yang diserap pada beban impact-kekerasan pantul.
      Kekerasan terhadap goresan-kekerasan goresan.
      Ketahanan terhadap abrasi-kekerasan abrasi.
      Ketahanan terhadap pemotongan atau pengeboran-mampu mesin.

Dieter (1996:397) mengemukakan bahwa pengujian kekerasan Rockwell dapat diterima tergantung pada kecepatan pengukuran, kesalahan personal, pengetahuan akan indentasi pada pengukuran sebuah baja, sehingga setelah perlakuan panas dapat diuji dengan Rockwell tanpa adanya kesalahan. Namun demikian pengujian kekerasan banyak dilakukan sebab hasilnya dapat digunakan sebagai berikut:
     Pada bahan yang sama dapat diklasifikasikan berdasarkan kekerasannya. Dengan kekerasan tersebut dapat ditentukan penggunaan dari bahan tersebut.
     Sebagai kontrol kualitas suatu product. Misal untuk mengetahui homogenitas akibat suatu proses pembentukan dingin, pemaduan, heat treatment, case hardening dan sebagainya. Dengan demikian dapat juga sebagai kontrol terhadap proses yang dilakukan.
Pada umumnya pengujian kekerasan yang dilakukan adalah yang berdasarkan penetrasi akibat beban statis. Adapun pengujian tersebut dibagi menjadi dua yaitu:
1.        Untuk spesimen yang cukup tebal digunakan pengujian kekerasan Brinell, Rockwell, dan Vickers.
2.        Untuk mengukur kekerasan bagian kecil atau lapisan-lapisan tipis dari suatu material digunakan pengujian kekerasan micro hardeness.

2.4.2   Pengujian Tarik
Kekuatan tarik merupakan sifat mekanis yang paling penting  dari logam terutama  untuk perhitungan konstruksi. Dibeberapa sektor industri hasil uji tidak hanya digunakan untuk meneliti “keadaan cacat” tetapi ditujukan untuk mengetahui kualitas produk sesuai spesifikasi standar. Pembebanan tarik merupakan suatu pembebanan pada benda dengan memberikan gaya yang berlawanan pada benda dengan arah menjauh dari titik tengah. Pengujian tarik paling sering dilakukan karena merupakan dasar pengujian-pengujian dan studi mengenai kekuatan bahan. Akibat dari penarikan gaya terhadap bahan adalah perubahan bentuk (deformasi) bahan, yaitu pergeseran butiran kristal logam hingga terlepasnya ikatan kristal tersebut karena gaya maksimum.
Kekuatan tarik dapat ditentukan dengan menarik sebuah benda sampai putus. Keterangan-keterangan yang diperoleh pada penarikan sampai putus tersebut dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran benda. Pada uji tarik, ujung-ujung benda uji dijepit dengan  kuat dan salah satu ujungnya dihubungkan dengan alat pengukur beban, sedangkan ujung yang lainnya dengan alat penarik dan ditarik ke arah memanjang secara perlahan.
(Suherman, 1987:10) menjelaskan bahwa pada saat batang uji menerima beban sebesar P kg maka batang uji (yaitu panjang uji) akan bertambah panjang sebesar ΔL mm.
Pada saat itu batang uji bekerja tegangan yang besarnya:
σ  =   P/A0                 Dimana A0 = Luas batang uji mula-mula.
Juga pada saat itu batang terjadi regangan yang besarnya:
∑ = ΔL/L0 = (L- L0)/L
Dimana L0 = Panjang “panjang uji” mula-mula.


L = Panjang “panjang uji” saat menerima beban
               Gambar 2.3 Stress-strain diagram for a ductile steel.
(Sumber : Suherman, 1987:11)
Dari gambar diagram tegangan-regangan suatu baja karbon rendah diatas tampak bahwa tegangan yang kecil grafik berupa garis lurus, ini berarti bahwa besarnya regangan yang timbul sebagai akibat tegangan yang kecil tersebut berbanding lurus dengan besarnya tegangan yang bekerja (Hukum Hook). Hal ini berlaku hiingga titik P yaitu batas kesebandingan atau proportionality limit. Setelah itu pertambahan panjang yang terjadi akibat penambahan beban tidak lagi berbanding lurus.
Pertambahan beban yang sama akan menghasilkan pertambahan panjang yang lebih besar. Kenaikan beban ini akan berlangsung terus sampai suatu maximum, dan untuk logam yang ulet (seperti halnya baja karbon rendah) setelah itu beban mesin tarik akan menurun lagi (tetapi pertambahan panjang terus berlangsung) sampai akhirnya batang uji putus.

2.4.3   Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan struktur mikro bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur mikro dari suatu material baik sebelum dan sesudah mengalami perlakuan panas. Struktur mikro ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya adalah mikroskop cahaya, mikroskop electron, mikroskop field on, mikroskop field emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy), adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah sebagai berikut:
1.    Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan.
2.    Memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui.
SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah peralatan untuk menguji atau melihat struktur permukaan sampel dengan perbesaran sampai dengan 1.000.000 x. Peralatan ini memiliki 2 modus operasional, Low Vacum (untuk sampel non-konduktif) dan High Vacum (untuk sampel konduktif).  Alat ini dilengkapi EDAX yaitu alat yang dapat digunakan untuk menguji kandungan unsur pada bahan yang dilihat struktur permukaannya. Kandungan unsur yang dapat diuji mulai dari Berilium s/d Uranium. Sebaran unsur didalam bahan juga dapat dideteksi berupa Surface area, line dan mapping (http://central-laboratory.um.ac.id/).
SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa mencapai resolusi sampai 0,1 – 0,2 nm. Disamping itu dengan menggunakan SEM bisa mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua jenis pantulan yaitu pantulan elastis dan pantulan non elastis.
Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat beberapa peralatan utama antara lain:
1.      Pistol elektron, biasanya berupa filamen yang terbuat dari unsur yang mudah melepas elektron misal tungsten.
2.      Lensa untuk elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang bermuatan negatif dapat dibelokkan oleh medan magnet.
3.      Sistem vakum, karena elektron sangat kecil dan ringan maka jika ada molekul udara yang lain elektron yang berjalan menuju sasaran akan terpencar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran sehingga menghilangkan molekul udara menjadi sangat penting.

Prinsip kerja dari SEM adalah sebagai berikut:
1.      Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda.
2.      Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel.
3.      Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai.
4.      Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT).
Dari pantulan inelastis didapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik sinar X sedangkan dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered electron. Perbedaan gambar dari sinyal elektron sekunder dengan backscattered adalah sebagai berikut:
Elektron sekunder menghasilkan topografi dari benda yang dianalisa, permukaan yang tinggi berwarna lebih cerah dari permukaan rendah. Sedangkan backscattered elektron memberikan perbedaan berat molekul dari atom – atom yang menyusun permukaan, atom dengan berat molekul tinggi akan berwarna lebih cerah daripada atom dengan berat molekul rendah.
Namun untuk mengenali jenis atom dipermukaan yang mengandung multi atom para peneliti lebih banyak mengunakan teknik EDS (Energy Dispersive Spectroscopy). Sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan ini, namun tidak semua SEM punya fitur ini. EDS dihasilkan dari Sinar X karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar X pada posisi yang ingin kita ketahui komposisinya. Maka setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung. Dengan EDS kita juga bisa membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda – beda dari masing – masing elemen di permukaan bahan. EDS bisa digunakan untuk menganalisa secara kunatitatif dari persentase masing – masing elemen.
Aplikasi dari teknik SEM – EDS dirangkum sebagai berikut:
1.         Topografi: Menganalisa permukaan dan teksture (kekerasan, reflektivitas dsb).
2.         Morfologi: Menganalisa bentuk dan ukuran dari benda sampel
3.         Komposisi: Menganalisa komposisi dari permukaan benda secara kuantitatif dan kualitatif.
Sedangkan kelemahan dari teknik SEM antara lain:
1.      Memerlukan kondisi vakum
2.      Hanya menganalisa permukaan
3.      Resolusi lebih rendah dari SEM Sampel harus bahan yang konduktif, jika tidak konduktor maka perlu dilapis logam seperti emas.

2.5    Pengaruh Kadar Dromus Oil dalam Media Pendingin Terhadap Kekerasan, Kekuatan Tarik, dan Struktur Mikro.
Hasil pengujian kekerasan, dapat dibandingkan antara material sebelum dikeraskan maupun setelah dikeraskan dengan berbagai media pendingin dromus oil dengan perbandingan kadar tertentu. Grafik pada gambar 2.4 menunjukan bahwa baja amutit bila dilakukan proses pengerasan, kekerasanya dapat meningkat cukup signifikan yaitu dari rata-rata 17,5 HRc dapat mencapai 65 HRc lebih. Namun demikian bila dibandingkan dari ketiga perlakuan dengan media pendingin emulsi dromus oil, kekerasan yang dicapai tidak begitu jauh, kekerasan tertinggi (63,91 HRc) diperoleh dengan menggunakan media pendingin dromus rasio 1:30. Artinya emulsi dromus oil dengan air mempunyai efek untuk meningkatkan kekerasan. 
Diagram Hasil Pengujian Kekerasan
Gambar 2.4  Diagram Perbedaan Kekerasan Baja Amutit Hasil Quenching dengan Quenching-Tempering (Sumber: Karmin dan Muchtar Ginting, 2012:5).
Karmin dan Muchtar Ginting (2012:7) menyebutkan bahwa, dari hasil proses quenching baja amutit menggunakan media pendingin emulsi minyak dromus dengan air yang rasionya 1: 10, 1; 20 dan 1: 30, setelah melalui pengujian-pengujian dan analisanya maka dapat diambil beberapa kesimpulan:
1.        Penggunaan medium quenching emulsi minyak dromus dengan air mempunyai pengaruh yang berbeda- beda terhadap sifat mekanik baja amutit, makin banyak menambahkan volume air kedalam minyak dromus cendrung meningkatkan kekerasan dan kekuatan. Hasil pengujian dengan variasi rasio emulsi diperoleh :
·         Dengan rasio emulsi 1/10, diperoleh kekerasan 62.08 HRc, 
·         Dengan rasio emulsi 1/20, diperoleh kekerasan 62,42 HRc, 
·         Dengan rasio emulsi 1/30, diperoleh kekerasan 63.08 HRc,
2.        Hasil yang diperoleh melalui quenching dengan emulsi dromus oil dan air  yang dilanjutkan tempering, nilai kekerasan tertinggi 63,08 HRc diperoleh dengan menggunakan emulsi dromus oil dengan air rasio 1:30. Melihat dari kenyataaan ini, prosentase campuran yang paling dominan peningkatan kekerasan yaitu menggunakan media emulsi dengan rasio 1 bagian dromus oil dengan 30 bagian air.
3.        Efek yang tidak menguntungkan dari ketiga medium pendingin dengan perbedaan rasio tersebut masing-masing memberikan efek retak dan distorsi terutama bila diterapkan pada material dengan geometri yang memberi peluang untuk terkosentrasinya tegangan selama pendinginan. Dengan demikian bila ingin menggunakan media quenching ini, geometri material perlu dipertimbangkan supaya bentuknya simetris.
4.        Hasil proses pengerasan baja amutit ini, jika dibandingkan dengan kekerasan pahat bubut HSS produk cina ( ± 57 HRc ),  pahat bubut merk Bohler Mo Rapid Extra  kekerasannya 58-61 HRc, dengan demikian produk ini memungkinkan untuk dipakai sebagai pahat bubut alternatif pengganti pahat bubut HSS produk cina, hanya saja masih perlu diteliti masalah perbedaan ketangguhannya.

Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Karmin dan Muchtar Ginting dapat dijelaskan bahwa media pendingin emulsi dromus oil dengan air mempunyai pengaruh untuk meningkatkan kekerasan. Sehingga kekuatan tarik akan meningkat pula, sedangkan keuletan dan ketangguhan baja akan menurun. Dengan kata lain nilai kekerasan dan kekuatan tarik pada logam yang sudah mengalami perlakuan panas hardening tempering dengan laju pendinginan cepat menggunakan  media pendingin emulsi dromus oil dan air berbanding terbalik dengan keuletan serta ketangguhan logam tersebut. Dengan meningkatnya kekerasan dan kekuatan tarik pada baja akibat proses hardening tempering maka dalam penggunaannya akan mengalami perubahan struktur mikro.

No comments:

Post a Comment